27/04/2011

Penerapan Pendidikan Karakter di SD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa factor moral akhlak adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orang tua kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter akhlak mulia yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.
Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah berat yang harus dilalui, yaitu terjadinya krisis multidimensi yang berkepanjangan. Masalah ini sebetulnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN, konflik, antar etnis, agama, politisi, remaja, antar RW, dsb meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya-budaya tersebut adalah penyebab utama Negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

1.2 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Pendidikan Karakter?
2. Bagaimana dampak dan peran pendidikan karakter di sekolah?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Dapat mengetahui pengertian dan seluk beluk pendidikan karakter
2. Dapat mengetahui dampak dan peran penerapan pendidikan karakter di Sekolah Dasar


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Karakter
Kata karakter berasal dari kata Yunani, Charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunya akhlak mulia adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan proses pengukiran. Dalam istilah bahasa Arab karakter ini mirip dengan akhlak akar kata khuluk, yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati ynag baik. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik baik, sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil.
Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

2.2 Dampak Pendidikan Karakter
Beberapa penelitian bermunculan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

2.3 Pendidikan Karakter di Sekolah
Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi social anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini.
Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya.
Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah factor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada ana didiknya dengan baik.

2.4 Nilai-nilai Karakter Yang Perlu Ditanamkan di SD
Pada masyarakat yang heterogen dengan berbeda-beda latar belakang social budaya dan agama, adanya common values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini dapat menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi social yang harmonis, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran yang dijunjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya, sehingga hak semua orang dapat terpenuhi.
Ada beberapa nilai yang dianggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam deklarasi Aspen dihasilkan 6 nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam system pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1. Dapat dipercaya
2. Memperlakukan orang lain dengan hormat
3. bertanggung jawab
4. adil
5. kasih sayang
6. warga Negara yang baik
Sedangkan IHF telah membuat konsep 9 pilar karakter yang untuk dijadikan modul pendidikan karakter. Kesembilan plar ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yaitu (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, bijaksana, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

2.5 Membangun Karakter di sekolah Secara Efektif
1. Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang mengandung acuan nilai moral
Lawrence Kohlberg adalah seorang yang paling berperan dalam menerapkan metode values clarification atau yang dikenal dengan moral dilemmas. Apabila seseorang sejak kecil tidak diberitahukan bekal standard moral yang dianggap baik atau buruk dan tidak berlatih untuk beraku jujur , maka kapasitas untuk memilih “tidak mencuri” tidak dimiliki, sehingga dengan mudah diaa mengambil keputusan untuk mencuri. Apabila ia mempunyai kapasitas di dalam dirinya untuk berlaku jujur, maka perasaan bimbang akan muncul, dan ia dapat memilih diantara dua tindakan “mancuri” dan “tidak mencuri”.
Metode value clarification tidak membenarkan untuk mengajarkan standart dari moral, tetapi harus timbul dari dalam diri seseorang, seperti metode Socrates. Hal ini bukan berarti cara Socrates dengan argumentasi adalah salah, tetapi menurut William Kilpatrick, cara ini hanya tepat digunakan untuk orang dewasa atau orang yang mengetahui sebelumnya standart moral baik dan buruk. Bahkan menurut plato sebagai orang yang menguasai filsafat Socrates, metode argumentasi hanya dapat diberikan pada orang yang sudah dewasa atau diatas umur 30 tahun.
2. Pendidikan karakter yang melibatkan aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action
Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami , merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
3. Penerapan kurikulum pendidikan karakter secara eksplisit
John Dewey mengatakan bahwa sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karkter tetapi dapat mendirikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai pendidikan moral yang disebut hidden curriculum (kurikulum tersembunyi).
Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stof,Think,Action,and Review) yang dikembangkan oleh Jafferson Center for Caracter Education yang berkedudukan di California, Amerika Serikat. Metode ini hnya memerlukan waktu 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas dimulai. Anak-anak mendapatkan pendidikan karakter dengan intruksi yang diberikan guru sesuai dengan kurikulum yang tersedia, dengan menggunakan beberapa tema secara bergantian (be responsible, be on time, be nice, be a good listener, dan sebgainya). Dengan menggunakan metode ini murid-murid sekolah digiring untuk mengerti konsep-konsep dengan cara berdiskusi. Kekurangan dari metode ini adalah kurang melibatkan aspek loving dan action.

4. Menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices)
Sistem pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul dalam proses belajar ini.
Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak sebagai individu yang utuh yang melibatkan 4 komponen pengetahuan keterampilan sifat alamiah dan perasaan karena pikirn emosi imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila system pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan maka perkembangan intelektual, social dan karakter anak, dapat terbentuk secara simultan.

5. Belajar menyenangkan, system pembelajaran terpadu berbasis karakter
Sekolah seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk belajar, sehingga mereka dapat belajar mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal. Menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, akan membentuk karakter yang kreatif, motivasi tinggi untuk terus mencari tahu, rasa tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya serta sikap kerja keras dan pantang menyerah.
Salah satu aspek dari system DAP adalah dengan mengembangkan kurikulum pembelajaran terpadu agar anak-anak dapat menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama, dan dapat menjadi insan yang peduli.
Keunggulan lain dari system pembelajaran terpadu adalah dapat membiasakan anak sejak usia dini untuk berpikir secara holistic, tidak berfikir fragmented, atau melihat masalah dari satu sisi saja.

6. Pendidikan karakter yang sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak
Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak. Proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg, seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman adalatingkatan moral yang paling rendah.
Sedangkan tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai tingkata moral tertinggi. Menurutnya, bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk (misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.
Untuk mencapai tingkatan moral tertinggi, beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembangan moral individu, yang sebetulnya satu sama lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun di sekolah harus harus disesuaikan dengan tahaan perkembangan moral anak agar pendekatannya sesuai. Dengan mengacu pada tahapan-tahapan ini dapat diharapkan seseorang dapat mencapai tingkatan moral tertinggi. Namun tidak semua orang dapatmencapai fase tahapan moral tertinggi walaupun umurnya sudah jauh melampaui batas yang bisa dicapai. Seorang dewasa bisa saja tahapan moralnya masih pada tahapan moral yang dicapai anak usia dibawah 8 tahun.
Tampaknya untuk mencapai tahapan moral tertinggi seseorang harus berkemban hati nuraninya, yaitu yang mempunyai motto “saya harus setia kepada kebenaran universal”. Bukan kebenaran menurut “saya pribadi”, atau menurut “pemimpin”, atau “kelompok”. Walaupun tindakannya melawan hokum atau undang-undangyang berlaku (misalnya menolak membela Negara kalau Negara salah, atau menolak membayar pajak kalau uang pajak dikorupsi atau digunakan untuk membiayai perang), mereka ini tetap kuat mempertahankan prinsip kebenaran dan bersikap adl keoada seuruh manusia tanpa pandang bulu. Menurut banyak pakar, hanya sedikit sekali orang yang mencapai tahapan ini.
Hati nurani bisa tumbuh kalau sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebajikan. Seperti sudah diungkapkan sebeumnya, bahwa emosi atau kanan adalah ibarat otot, kalau tidak dibiasakan berfungsi maka akan menjadi lmpuh atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, metode pendidikan karakter yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapai tahapan moral tertinggi.

7. Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting)
Orang tua murid harus menjadi partner dalam membentuk karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang menjalankan pendidikan karakter harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat terwujud.
Sekolah dapat melakukan seminar atau workshop untuk meningkatkan kesadaran para orang tua murid dan melibatkan mereka dalam kegiatan pendidikan karakter.
Hal lain yang dapat dilakukan adla dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama antara orang tua, dan anaknya di rumah; misalnya membaca atau membuat puisi tentang topic tertentu, membaca buku cerita yang topiknya ditentukan, dan sebagainya. Cara ini dapat mengajak seluruh orang tua murid untuk dapat terlibat dalam pendidikan karakter anak-anaknya. Atau pihak sekolah dapat mengirimkan booklet mengenai tips-tips penting yang berkaitan dengan pendidikan karakterdan atau membuat bulletin atau newsletter yang bertemakan karakter dan disebarluaskan kepada orang tua.

8. Prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah
Langkah terakhir adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan karakter. Character Education Quality Standards merekomendaikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:
- mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
- mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku
- mengguanakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
- menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
- memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
- memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses
- mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa
- memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama
- adanya pembagian kepimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
- memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
- mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa

2.6 Kiat-kiat menjadi pendidik karakter yang berhasil
1. Guru sebagai pembangun citra diri positif anak
2. Guru sebagai model atau tokoh idola
3. Mendidik dengan mencelupkan diri
4. Guru yang penuh inspirasi
5. Menebar benih kebajikan tanpa pamrih

No comments:

Post a Comment