Dalam Sistem Pendidikan Nasional, homeschooling adalah perwujudan dari pendidikan informal yang diakui eksistensinya di dalam UU No. 20/2003. Jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1). Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2). Tak ayal lagi, penyelenggaraan homeschooling memiliki basis legal yang kuat dan merupakan salah satu kekayaan keragaman model pendidikan yang berjalan di masyarakat.
Dukungan pemerintah terhadap keberadaan homeschooling juga ditunjukkan melalui penandatangan Nota Kesepahaman antara Depdiknas dan Asosiasi Sekolahrumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (Asah Pena) pada 10 Januari 2007 yang berisi pengakuan Komunitas Sekolahrumah sebagai salah satu bentuk Satuan Pendidikan Kesetaraan.
Makalah kecil ini adalah sumbang saran dari praktisi dan Komunitas Homeschooling yang sehari-hari menjalankan praktek homeschooling. Mudah-mudahan sumbang saran ini dapat menjadi masukan bagi Depdiknas dalam pengembangan layanan dan dukungan bagi pelaksanaan homeschooling sehingga dapat lebih efektif dalam menjangkau kalangan homeschooling secara luas.
PRINSIP DASAR
Agar pemerintah dapat memberikan layanan yang efektif dalam pengembangan homeschooling di Indonesia, diperlukan dialog yang terbuka dan terus menerus antara pemerintah dan masyarakat homeschooling sehingga dapat menghasilkan sinergi untuk kebaikan masa depan anak-anak Indonesia. Dialog itu diperlukan karena ada perbedaan-perbedaan model pendidikan antara homeschooling dibandingkan sistem sekolah formal yang menjadi praktek mainstream di masyarakat.
Perbedaan itu tak hanya menyangkut tempat belajar yang dipindahkan secara fisik dari sekolah ke rumah. Memindahkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam model pendidikan di sekolah formal ke dalam model homeschooling tidak akan efektif, bahkan kontra-produktif bagi pengembangan homeschooling karena model homeschooling yang diterapkan di masyarakat sangat beragam.
Model dan praktek homeschooling itu memiliki variasi yang sangat lebar, mulai yang sifatnya sangat tidak terstruktur (unschooling) sampai pada model yang sangat terstruktur (school at home). Jadi, secara natural model-model homeschooling yang berkembang di masyarakat memang sangat heterogen. Ada homeschooling model artis, atlet, seniman, penulis, kalangan agama, maupun model homeschooling yang melanjutkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi.
Karena tingginya keragaman itu, kebijakan-kebijakan mengenai homeschooling terutama yang bersifat wajib (compulsory) harus dibuat dengan hati-hati agar tidak mematikan inisiatif yang tumbuh di masyarakat. Sebaiknya pemerintah berfokus pada penguatan aspek legalitas untuk memberikan dukungan bagi anggota masyarakat yang ingin melaksanakan homeschooling. Dan fokus kebijakan yang dilakukan difokuskan bukan pada penciptaan kewajiban-kewajiban, tetapi lebih ditekankan pada layanan dan fungsi katalisator untuk mendorong inisiatif yang berkembang di masyarakat; misalnya pengembangan sistem dukungan seperti penyediaan panduan, kurikulum, bahan ajar, sistem, pelatihan, dan penyediaan sarana-sarana pendukung baik yang bersifat fisik maupun non fisik lainnya.
KUSTOMISASI PENDIDIKAN
Salah satu filosofi dasar homeschooling yang membedakannya dari model pendidikan sekolah formal adalah peluang untuk melakukan kustomisasi materi dan metode pembelajaran bagi anak-anak. Dengan pijakan awal pada minat dan kemampuan anak-anak, keluarga homeschooling dapat menyusun dan memilih materi-materi belajar yang paling sesuai dengan anak-anak. Demikian pun, metode pembelajaran pun dapat lebih fleksibel mengikuti gaya belajar anak-anak yang mungkin berbeda satu sama lainnya.
Hal ini berbeda dengan model sekolah umum yang dibangun berdasarkan asumsi sebuah standar tertentu yang diterapkan secara menyeluruh untuk seluruh siswa dalam satu jenjang yang sama. Dalam sistem sekolah, perkembangan anak-anak diukur dalam jenjang-jenjang pendidikan mulai kelas SD, SMP, dan SMA; mulai kelas 1, kelas 2, dan seterusnya. Di dalam setiap tingkat atau kelas, seorang siswa harus mempelajari satu paket mata pelajaran tertentu. Untuk naik ke tingkat berikutnya, siswa harus lulus seluruh pelajaran yang ada tingkat itu, atau paling tidak lulus materi-materi inti dan memiliki standar rata-rata yang melampaui ambang batas tertentu.
Kustomisasi dan individualisasi proses pendidikan adalah kekuatan homeschooling. Model pendidikan semacam ini memiliki pijakan kuat dengan semakin luasnya penerimaan masyarakat dan dunia pendidikan terhadap teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) yang pertama kali dikembangkan Howard Gardner. Dalam upaya memberikan layanan terbaik bagi anak-anak, para keluarga homeschooling berusaha memelihara fleksibilitas, baik dalam pemilihan materi ajar maupun metodologi yang digunakan oleh anak-anak untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diraihnya.
Oleh karena itu, kami berharap agar kebijakan pemerintah dan materi-materi yang dibuat untuk homeschooling mempertimbangkan aspek keragaman dan kustomisasi pendidikan sebagaimana yang dipraktekkan oleh para praktisi homeschooling. Dalam konteks pengembangan kurikulum, kami berharap pemerintah tetap mendukung diversifikasi pengembangan kurikulum dan materi ajar bagi homeschooling sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas no. 20/2003 pasal 36 ayat 2. Selain itu, kami berharap agar kebijakan-kebijakan mengenai homeschooling tidak didorong ke dalam standardisasi dan strukturisasi yang ketat sebagaimana yang dituntutkan pada jalur sekolah formal sebagaimana yang diatur dalam Permen 22, 23, dan 24 tahun 2006 mengenai Standar Isi dan Standar Kompetensi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
KERANGKA DASAR SISTEM MODULAR
Untuk memberikan pelayanan yang maksimal bagi para keluarga homeschooling, kami mengusulkan agar Litbang Depdiknas mempertimbangkan pengembangan sistem modular sebagai alternatif terhadap sistem paket yang digunakan pada model sekolah formal pada saat ini.
Sistem paket yang kami maksudkan adalah sebuah kesatuan beberapa pelajaran yang harus dipelajari oleh seorang peserta didik yang berada pada satu jenjang tertentu. Sistem ini berlaku pada model pendidikan di sekolah, di mana siswa pada kelas 5 SD harus menyelesaikan beberapa pelajaran wajib (Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Penjas, muatan lokal, dan pengembangan diri) untuk kelas 5.
Sementara itu, sistem modular yang kami maksudkan adalah penitian dan pencapaian kompetensi yang disusun berdasarkan mata pelajaran, bukan kelas. Setiap pelajaran memiliki jenjang (misalnya tingkat 1 hingga tingkat 9). Sebagai contoh, pelajaran bahasa Indonesia memiliki jenjang 1 hingga 9, demikian pula pelajaran matematika, dan lain-lainnya.
Setiap pelajaran dapat berdiri sendiri dan kenaikan jenjang kompetensi pada sebuah pelajaran dapat dilakukan tanpa harus menunggu kenaikan jenjang pada pelajaran yang lain. Siswa yang memiliki minat dan kemampuan dalam bidang tertentu, misalnya bahasa Indonesia atau matematika, dapat terus meningkatkan kompetensinya ke jenjang berikutnya tanpa harus menunggu peningkatan kompetensi pada bidang lain yang mungkin tidak terlalu dikuasainya.
Dengan model modular, seorang siswa dimungkinkan memiliki jenjang-jenjang yang berbeda untuk mata pelajaran yang dipelajarinya. Misalnya, pada saat yang sama seorang siswa dapat berada pada tingkat 7 untuk bahasa Indonesia, tingkat 5 untuk matematika, tingkat 6 untuk IPA, dan tingkat 8 untuk IPS. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena siswa seorang siswa memiliki fleksibilitas untuk memilih mata pelajaran yang diminatinya dan berkembang dengan kecepatan sesuai kemampuannya.
Untuk mengintegrasikan model modular yang dilaksanakan dalam sistem homeschooling dengan sistem sekolah (paket) yang dijalankan pada sistem pendidikan formal dan non formal, alat ukurnya adalah Ujian Kesetaraan yang menjadi sarana bagi sistem pendidikan informal dan non formal agar dapat diakui setara dengan pendidikan formal. Untuk dapat mengikuti ujian Kesetaraan (misalnya paket A), maka siswa homeschooling harus telah berada pada tingkat 6 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Penetapan tingkat (placement test) untuk setiap mata pelajaran itu dilakukan oleh Komunitas Homeschooling yang menjadi satuan pendidikan non formal. Prasyarat itu tak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya untuk mata pelajaran tertentu siswa telah memiliki penguasaan pada jenjang yang lebih tinggi.
PRINSIP DASAR
Agar pemerintah dapat memberikan layanan yang efektif dalam pengembangan homeschooling di Indonesia, diperlukan dialog yang terbuka dan terus menerus antara pemerintah dan masyarakat homeschooling sehingga dapat menghasilkan sinergi untuk kebaikan masa depan anak-anak Indonesia. Dialog itu diperlukan karena ada perbedaan-perbedaan model pendidikan antara homeschooling dibandingkan sistem sekolah formal yang menjadi praktek mainstream di masyarakat.
Perbedaan itu tak hanya menyangkut tempat belajar yang dipindahkan secara fisik dari sekolah ke rumah. Memindahkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam model pendidikan di sekolah formal ke dalam model homeschooling tidak akan efektif, bahkan kontra-produktif bagi pengembangan homeschooling karena model homeschooling yang diterapkan di masyarakat sangat beragam.
Model dan praktek homeschooling itu memiliki variasi yang sangat lebar, mulai yang sifatnya sangat tidak terstruktur (unschooling) sampai pada model yang sangat terstruktur (school at home). Jadi, secara natural model-model homeschooling yang berkembang di masyarakat memang sangat heterogen. Ada homeschooling model artis, atlet, seniman, penulis, kalangan agama, maupun model homeschooling yang melanjutkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi.
Karena tingginya keragaman itu, kebijakan-kebijakan mengenai homeschooling terutama yang bersifat wajib (compulsory) harus dibuat dengan hati-hati agar tidak mematikan inisiatif yang tumbuh di masyarakat. Sebaiknya pemerintah berfokus pada penguatan aspek legalitas untuk memberikan dukungan bagi anggota masyarakat yang ingin melaksanakan homeschooling. Dan fokus kebijakan yang dilakukan difokuskan bukan pada penciptaan kewajiban-kewajiban, tetapi lebih ditekankan pada layanan dan fungsi katalisator untuk mendorong inisiatif yang berkembang di masyarakat; misalnya pengembangan sistem dukungan seperti penyediaan panduan, kurikulum, bahan ajar, sistem, pelatihan, dan penyediaan sarana-sarana pendukung baik yang bersifat fisik maupun non fisik lainnya.
KUSTOMISASI PENDIDIKAN
Salah satu filosofi dasar homeschooling yang membedakannya dari model pendidikan sekolah formal adalah peluang untuk melakukan kustomisasi materi dan metode pembelajaran bagi anak-anak. Dengan pijakan awal pada minat dan kemampuan anak-anak, keluarga homeschooling dapat menyusun dan memilih materi-materi belajar yang paling sesuai dengan anak-anak. Demikian pun, metode pembelajaran pun dapat lebih fleksibel mengikuti gaya belajar anak-anak yang mungkin berbeda satu sama lainnya.
Hal ini berbeda dengan model sekolah umum yang dibangun berdasarkan asumsi sebuah standar tertentu yang diterapkan secara menyeluruh untuk seluruh siswa dalam satu jenjang yang sama. Dalam sistem sekolah, perkembangan anak-anak diukur dalam jenjang-jenjang pendidikan mulai kelas SD, SMP, dan SMA; mulai kelas 1, kelas 2, dan seterusnya. Di dalam setiap tingkat atau kelas, seorang siswa harus mempelajari satu paket mata pelajaran tertentu. Untuk naik ke tingkat berikutnya, siswa harus lulus seluruh pelajaran yang ada tingkat itu, atau paling tidak lulus materi-materi inti dan memiliki standar rata-rata yang melampaui ambang batas tertentu.
Kustomisasi dan individualisasi proses pendidikan adalah kekuatan homeschooling. Model pendidikan semacam ini memiliki pijakan kuat dengan semakin luasnya penerimaan masyarakat dan dunia pendidikan terhadap teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) yang pertama kali dikembangkan Howard Gardner. Dalam upaya memberikan layanan terbaik bagi anak-anak, para keluarga homeschooling berusaha memelihara fleksibilitas, baik dalam pemilihan materi ajar maupun metodologi yang digunakan oleh anak-anak untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diraihnya.
Oleh karena itu, kami berharap agar kebijakan pemerintah dan materi-materi yang dibuat untuk homeschooling mempertimbangkan aspek keragaman dan kustomisasi pendidikan sebagaimana yang dipraktekkan oleh para praktisi homeschooling. Dalam konteks pengembangan kurikulum, kami berharap pemerintah tetap mendukung diversifikasi pengembangan kurikulum dan materi ajar bagi homeschooling sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas no. 20/2003 pasal 36 ayat 2. Selain itu, kami berharap agar kebijakan-kebijakan mengenai homeschooling tidak didorong ke dalam standardisasi dan strukturisasi yang ketat sebagaimana yang dituntutkan pada jalur sekolah formal sebagaimana yang diatur dalam Permen 22, 23, dan 24 tahun 2006 mengenai Standar Isi dan Standar Kompetensi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
KERANGKA DASAR SISTEM MODULAR
Untuk memberikan pelayanan yang maksimal bagi para keluarga homeschooling, kami mengusulkan agar Litbang Depdiknas mempertimbangkan pengembangan sistem modular sebagai alternatif terhadap sistem paket yang digunakan pada model sekolah formal pada saat ini.
Sistem paket yang kami maksudkan adalah sebuah kesatuan beberapa pelajaran yang harus dipelajari oleh seorang peserta didik yang berada pada satu jenjang tertentu. Sistem ini berlaku pada model pendidikan di sekolah, di mana siswa pada kelas 5 SD harus menyelesaikan beberapa pelajaran wajib (Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Penjas, muatan lokal, dan pengembangan diri) untuk kelas 5.
Sementara itu, sistem modular yang kami maksudkan adalah penitian dan pencapaian kompetensi yang disusun berdasarkan mata pelajaran, bukan kelas. Setiap pelajaran memiliki jenjang (misalnya tingkat 1 hingga tingkat 9). Sebagai contoh, pelajaran bahasa Indonesia memiliki jenjang 1 hingga 9, demikian pula pelajaran matematika, dan lain-lainnya.
Setiap pelajaran dapat berdiri sendiri dan kenaikan jenjang kompetensi pada sebuah pelajaran dapat dilakukan tanpa harus menunggu kenaikan jenjang pada pelajaran yang lain. Siswa yang memiliki minat dan kemampuan dalam bidang tertentu, misalnya bahasa Indonesia atau matematika, dapat terus meningkatkan kompetensinya ke jenjang berikutnya tanpa harus menunggu peningkatan kompetensi pada bidang lain yang mungkin tidak terlalu dikuasainya.
Dengan model modular, seorang siswa dimungkinkan memiliki jenjang-jenjang yang berbeda untuk mata pelajaran yang dipelajarinya. Misalnya, pada saat yang sama seorang siswa dapat berada pada tingkat 7 untuk bahasa Indonesia, tingkat 5 untuk matematika, tingkat 6 untuk IPA, dan tingkat 8 untuk IPS. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena siswa seorang siswa memiliki fleksibilitas untuk memilih mata pelajaran yang diminatinya dan berkembang dengan kecepatan sesuai kemampuannya.
Untuk mengintegrasikan model modular yang dilaksanakan dalam sistem homeschooling dengan sistem sekolah (paket) yang dijalankan pada sistem pendidikan formal dan non formal, alat ukurnya adalah Ujian Kesetaraan yang menjadi sarana bagi sistem pendidikan informal dan non formal agar dapat diakui setara dengan pendidikan formal. Untuk dapat mengikuti ujian Kesetaraan (misalnya paket A), maka siswa homeschooling harus telah berada pada tingkat 6 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Penetapan tingkat (placement test) untuk setiap mata pelajaran itu dilakukan oleh Komunitas Homeschooling yang menjadi satuan pendidikan non formal. Prasyarat itu tak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya untuk mata pelajaran tertentu siswa telah memiliki penguasaan pada jenjang yang lebih tinggi.
PAKET | MODULAR | |
Satuan | kelas | mata pelajaran |
Yang dipelajari siswa | harus satu paket/tingkat | memilih mata pelajaran yang diminati |
Jumlah yang dipelajari | sudah tetap/paket | memilih sesuai minat/ kemampuan |
Penilaian | satu paket pelajaran | per pelajaran |
Kenaikan jenjang | setelah lulus satu paket | dapat naik terus per pelajaran |
Pencapaian | satu tingkat yang sama | tiap pelajaran dapat berada pada tingkat yang berbeda |
ASPEK PENGEMBANGAN TEKNIS
Dalam pengembangan layanan materi pengajaran untuk siswa homeschooling yang bersifat teknis, kami memberikan masukan mengenai beberapa hal:
- Dalam pengembangan modul atau materi ajar, diharapkan materi yang dibuat lebih mendorong inisiatif siswa untuk terlibat dan belajar dari pengalamannya sendiri daripada berupa materi yang diajarkan. Sebab, pada dasarnya homeschooling memberikan peluang untuk mendorong inisiatif dan kemandirian siswa karena orang tua tidak berfungsi sebagai guru, tetapi lebih berfungsi sebagai fasilitator. Demikian pun, materi ajar yang sedang dibuat diharapkan memiliki relevansi tinggi dengan kehidupan sehari-hari siswa karena pada umumnya siswa homeschooling menggunakan peristiwa keseharian sebagai bahan dan proses pembelajaran.
- Seiring dengan perkembangan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang semakin banyak diterima di dunia pendidikan, materi yang disiapkan oleh Depdiknas diharapkan juga mengadaptasi ragam gaya pembelajaran yang berbeda untuk setiap jenis kecerdasan.
- Tanpa mengurangi substansi materi yang hendak disampaikan, materi-materi pendukung proses homeschooling yang disusun diharapkan dapat menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh masyarakat umum yang tidak memiliki latar belakang di bidang penyelenggaraan sekolah.
PENUTUP
Demikian tulisan ini kami persembahkan untuk pengembangan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia melalui homeschooling. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di Depdiknas pada saat mengembangkan kebijakan mengenai homeschooling.
Jakarta, 14 April 2007
Penulis
- Yayah Komariah, Ketua Komunitas Homeschooling “BERKEMAS”, tinggal di Jakarta Selatan. Komunitas Berkemas beranggotakan siswa homeschooling mulai jenjang SD hingga SMA.
- Sumardiono, Praktisi Homeschooling, pengelola situs Keluarga Homeschooling Indonesia (www.sumardiono.com)
No comments:
Post a Comment